Golong Sali
Maka dalam tahun itu Josephe berhasil menjualnya lagi kepada sekelompok orang Tionghoa, Lim Tjipko, Kapten Lim Ki Enlo, Lim Theko, Khouw Hong Liang, Tee Poanko, Khouw Tjangke, Lauw Nunko, Si Oako, Tan Kalang, Tung Inko dan Tan Soenko, seharga 6000 rijksdaalders. Persil itu diuraikan sebagai "sebidang tanah yang biasa disebut Goenoeng Sarie, dengan makam-makam Tionghoa, terletak di luar kola, sekitar jarak perjalanan satu jam antara benteng-benteng Jacatra dan Noordwijk, jalan raya Selatan dan apa yang disebut Drosserspad di sisi timur bagian ke-22 dan blok L. no 14. 15. 16 dan 17. Drosserspad adalah jalan tempat para budak belian melarikan diri, sekarang Jalan. Taman Sari Raya (Asem Reges). Jalan Raya Selaten (de Grote Zuyderweg) mungkin Jalan. Gunung Sahari Raya, sedang Sungai Besar adalah Ciliwung. Dari batas-batasnya dapat dibayangkan betapa luas tanahnya. Rumah Goenoeng Sarie ini. Dalam peta kota Jakarta buatan ± tahun 1940 daerah ini masih merupakan tanah Pekuburan Tionghoa.
Sebelah barat dibatasi oleh sebagian Drosserspad atau jalan raya baru, selanjutnya dengan tanah Amat, di sebelah timur dengan Jalan Raya Selatan, di sebelah utara dengan Sungai Lama, C. W. Mey dan kuburan Tionghoa baru dan di sebelah selatan pada tanah A. van Tematen, orang Bali Dul Talie Abdul Rahim, sungai besar lama dan Janda dan N. Perera. Menurut seorang Tionghoa, penulis Sejarah Kronologis Jakarta, kisah pembelian itu agak berlainan. Dalam tahun 1760 kapten orang Tionghoa berunding dengan pembantu terdekatnya mengenai pembelian tanah kuburan baru. Mereka meminta agar segenap bangsanya ikut menyumbang agar bisa membeli Taman Gubernur di “Golong-Sali”, di mana ada sebuah kuil Buddhis, dengan sejumlah area batu, yang dulunya dibuat oleh orang Tionghoa. Orang Tionghoa senang sekali memperoleh sebidang tanah ini ..."
Maka sejak tahun 1762, jadi lebih dari dua ratus tahun, rumah Gunung Sari dan tanah sekitarnya menjadi milik orang Tionghoa. Tanah pekarangannya yang luas dijadikan pekuburan. Bangunan rumahnya diubah menjadi sebuah kelenteng sampai sekarang. Yang agak mengherankan ialah bahwa koleksi area batu dari zaman pengaruh kebudayaan Hindu itu disimpan di sebuah ruang samping khusus dan dipuja sebagai dewa-dewa Tionghoa. Memang di antara area-area itu ada empat atau lima area Buddha, tetapi selebihnya adalah dewa-dewa Hindu, seperti Ganesya, Durga, Agastrya dan lain-lainnya. Bagi umat yang ke klenteng Sention, kumpulan arca itu adalah Cap Pe Lohan, atau delapan belas orang suci (arhat) yang dikenal dalam agama Buddha Tionghoa. Padahal jumlah arca yang ditempatkan di atas semacam pentas batu itu lebih dari delapan belas
Soal ini ternyata juga menarik perhatian Raffles. Gambar keenam kumpulan arca itu termuat dalam bukunya History of Java yang tersohor. Ia menulis antara lain, ".... menarik perhatian, bahwa orang-orang Tionghoa di sebuah negeri asing, demikian tinggi menilai dan menghargai patung-patung berhala dari bangsa yang mereka pandang rendah. Padahal bentuk pemujaan mereka dewasa ini sangat berbeda daripada orang Hindu, betapa pun banyak persamaannya waktu dulu..."
Sebelah barat dibatasi oleh sebagian Drosserspad atau jalan raya baru, selanjutnya dengan tanah Amat, di sebelah timur dengan Jalan Raya Selatan, di sebelah utara dengan Sungai Lama, C. W. Mey dan kuburan Tionghoa baru dan di sebelah selatan pada tanah A. van Tematen, orang Bali Dul Talie Abdul Rahim, sungai besar lama dan Janda dan N. Perera. Menurut seorang Tionghoa, penulis Sejarah Kronologis Jakarta, kisah pembelian itu agak berlainan. Dalam tahun 1760 kapten orang Tionghoa berunding dengan pembantu terdekatnya mengenai pembelian tanah kuburan baru. Mereka meminta agar segenap bangsanya ikut menyumbang agar bisa membeli Taman Gubernur di “Golong-Sali”, di mana ada sebuah kuil Buddhis, dengan sejumlah area batu, yang dulunya dibuat oleh orang Tionghoa. Orang Tionghoa senang sekali memperoleh sebidang tanah ini ..."
Maka sejak tahun 1762, jadi lebih dari dua ratus tahun, rumah Gunung Sari dan tanah sekitarnya menjadi milik orang Tionghoa. Tanah pekarangannya yang luas dijadikan pekuburan. Bangunan rumahnya diubah menjadi sebuah kelenteng sampai sekarang. Yang agak mengherankan ialah bahwa koleksi area batu dari zaman pengaruh kebudayaan Hindu itu disimpan di sebuah ruang samping khusus dan dipuja sebagai dewa-dewa Tionghoa. Memang di antara area-area itu ada empat atau lima area Buddha, tetapi selebihnya adalah dewa-dewa Hindu, seperti Ganesya, Durga, Agastrya dan lain-lainnya. Bagi umat yang ke klenteng Sention, kumpulan arca itu adalah Cap Pe Lohan, atau delapan belas orang suci (arhat) yang dikenal dalam agama Buddha Tionghoa. Padahal jumlah arca yang ditempatkan di atas semacam pentas batu itu lebih dari delapan belas
Soal ini ternyata juga menarik perhatian Raffles. Gambar keenam kumpulan arca itu termuat dalam bukunya History of Java yang tersohor. Ia menulis antara lain, ".... menarik perhatian, bahwa orang-orang Tionghoa di sebuah negeri asing, demikian tinggi menilai dan menghargai patung-patung berhala dari bangsa yang mereka pandang rendah. Padahal bentuk pemujaan mereka dewasa ini sangat berbeda daripada orang Hindu, betapa pun banyak persamaannya waktu dulu..."
No comments:
Post a Comment