Jalan Patekoan
Hari baik itu ternyata terpilih dua bulan kemudian. Waktu itu usia Oey Tambah baru tujuh belas. Pada zaman sekarang, pemuda umur sekian masih tekun belajar, atau asyik main kebut-cebutan. Tetapi untuk zaman itu sudah dianggap pantas untuk berkeluarga, apalagi kalau keuangan cukup.
Menjelang pesta pernikahannya, Tambahsia menutup jalan umum Patekoan dari Jembatan Toko Tiga sampai ujung jalan Patekoan dan mendirikan tarup (tenda) di atasnya. Menurut ketentuan, penutupan jalan dan pemasangan tarup harus minta izin lewat para pejabat Dewan Tionghoa. Oey Tambah rupanya sengaja tak mau minta izin, untuk menunjukkan bahwa ia tidak membutuhkan para pemuka itu. Tan Eng Goan berusaha melarang penutupan jalan itu, tetapi bawahan yang ditugaskan diusir oleh Oey. Tan kemudian mengadukan pelanggaran itu langsung kepada asisten residen. Pejabat itu segera memanggil penduduk yang bandel itu untuk menghadap.
Kepada petugas yang membawa surat panggilan, Tambah menjanjikan akan segera menghadap, tetapi nyatanya ia langsung menemui residen. Agaknya ia kenal atau setidak-tidaknya punya koneksi dengan pejabat itu. Alhasil ia bukannya dituntut atas pelanggaran itu, malahan diizinkan menutup jalan umum itu selama satu bulan.
Pesta kawin itu konon belum pernah ada bandingannya di kota Betawi. Pesta pora yang diramaikan wayang Tionghoa, tayuban, arak-arakan, kembang api dan lain-lainnya berlangsung sampai beberapa hari dan malam. Para pejabat Belanda yang diundang ikut menghadiri pesta meriah itu, sedang para pemuka Tionghoa tiada yang hadir.
Harapan ibunya agar Tambahsia akan menjadi kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab ternyata tak terpenuhi. Hanya sebulan Oey betah tinggal di rumah menikmati bulan madunya. Setelah itu kebinalannya kambuh .Ia hampir tak pernah pulang. Sebagian besar waktunya dilewatkan di Bintang Mas Ancol, untuk bersenang-senang dengan istri bekas tukang kelontong itu.
Agaknya dia belum puas dengan istri sah dan sejumlah simpanan tetap maupun sementara. Ia masih saja memangsa anak orang.Gadis-gadis banyak yang menjadi korban nafsunya. Konon para orang tua di Betawi makin ketat mengurung anak dara mereka. Mereka bahkan dilarang melongok dari pintu atau jendela rumah, karena khawatiri riwayat gang Kenanga akan berulang. Tambahsia jadi lebih sering memangsa istri-istri orang dengan bantuan kaki tangannya karena gadis sukar diperoleh lagi.
Menjelang pesta pernikahannya, Tambahsia menutup jalan umum Patekoan dari Jembatan Toko Tiga sampai ujung jalan Patekoan dan mendirikan tarup (tenda) di atasnya. Menurut ketentuan, penutupan jalan dan pemasangan tarup harus minta izin lewat para pejabat Dewan Tionghoa. Oey Tambah rupanya sengaja tak mau minta izin, untuk menunjukkan bahwa ia tidak membutuhkan para pemuka itu. Tan Eng Goan berusaha melarang penutupan jalan itu, tetapi bawahan yang ditugaskan diusir oleh Oey. Tan kemudian mengadukan pelanggaran itu langsung kepada asisten residen. Pejabat itu segera memanggil penduduk yang bandel itu untuk menghadap.
Kepada petugas yang membawa surat panggilan, Tambah menjanjikan akan segera menghadap, tetapi nyatanya ia langsung menemui residen. Agaknya ia kenal atau setidak-tidaknya punya koneksi dengan pejabat itu. Alhasil ia bukannya dituntut atas pelanggaran itu, malahan diizinkan menutup jalan umum itu selama satu bulan.
Pesta kawin itu konon belum pernah ada bandingannya di kota Betawi. Pesta pora yang diramaikan wayang Tionghoa, tayuban, arak-arakan, kembang api dan lain-lainnya berlangsung sampai beberapa hari dan malam. Para pejabat Belanda yang diundang ikut menghadiri pesta meriah itu, sedang para pemuka Tionghoa tiada yang hadir.
Harapan ibunya agar Tambahsia akan menjadi kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab ternyata tak terpenuhi. Hanya sebulan Oey betah tinggal di rumah menikmati bulan madunya. Setelah itu kebinalannya kambuh .Ia hampir tak pernah pulang. Sebagian besar waktunya dilewatkan di Bintang Mas Ancol, untuk bersenang-senang dengan istri bekas tukang kelontong itu.
Agaknya dia belum puas dengan istri sah dan sejumlah simpanan tetap maupun sementara. Ia masih saja memangsa anak orang.Gadis-gadis banyak yang menjadi korban nafsunya. Konon para orang tua di Betawi makin ketat mengurung anak dara mereka. Mereka bahkan dilarang melongok dari pintu atau jendela rumah, karena khawatiri riwayat gang Kenanga akan berulang. Tambahsia jadi lebih sering memangsa istri-istri orang dengan bantuan kaki tangannya karena gadis sukar diperoleh lagi.
No comments:
Post a Comment