Interior Memandang Ke Panggung
Gedung Kesenian yang besar dan mewah tentu saja membutuh-kan biaya pengelolaan yang besar pula. Ini merepotkan pengurus Ut desint yang kemudian juga menjadi pengelola gedung tersebut. Uang yang diperoleh dari penjualan karcis ternyata tidak mencukupi. Dalam tahun-tahun pertama uang penjualan karcis masih dapat menutup berbagai pengeluaran, seperti untuk perawatan gedung, pembuatan dekor panggung dan kostum baru serta untuk menggaji karyawan. Untuk membayar hutang beberapa ribu gulden yang dipinjam dalam masa pembangunannya belum mencukupi.
Ketika situasi perekonomian di Jawa makin jelek, keadaan kas Gedung Kesenian tahun berikutnya juga makin parah. Apalagi setelah meletusnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825, yang menyebabkan pemerintah melakukan penghematan besar-besaran dan nilai uang makin merosot. Sulit bagi Ut desint untuk terus mempertahankan acara pertunjukan drama rutin mereka, karena jumlah penonton juga menyusut.
Setelah bertahun-tahun merana, tahun 1835 Gedung Kesenian mulai hidup dan dipadati penonton lagi. Pada tanggal 23 September tahun itu di Batavia mendarat sebuah kapal dari Singapura yang membawa rombongan sandiwara Prancis di bawah pimpinan seorang impresario bernama Minard. Selama dua bulan mereka menghibur publik Batavia dengan tiga musikal Francis, masing-masing berjudul: Michel et Christine, Angelina ou la Champenoise dan La Demoiselle et la Dame ou avant apres le manage.
Untuk pertama kali khalayak Batavia menyaksikan pertunjukan yang benar-benar dimainkan rombongan drama profesional. Selama ini panggung Schouwburg hanya menampilkan pertunjuk¬an oleh perkumpulan-perkumpulan drama amatiran, dengan pemain yang kemampuan aktingnya pas-pasan.
Namun bukan itu yang membuat penonton berduyun-duyun datang ke Gedung Kesenian. Khalayak Batavia tertarik oleh adanya aktris atau pemain drama wanita dalam pertunjukan itu.
Sampai saat itu drama hanya dimainkan kaum laki-laki saja di Batavia, Perkumpulan-perkumpulan drama, termasuk Ut desint, tak pernah memiliki anggota wanita. Segala peran wanita terpaksa harus selalu dimainkan aktor pria. Sebuah roman percintaan seringkali malah jadi menggelikan karena tokoh-tokoh wanitanya berwajah kasar, bersuara besar dan bertubuh kekar.
Entah kenapa, wanita-wanita Belanda - atau Indo - di Batavia waktu itu sama sekali tidak tertarik untuk menjadi aktris dan bintang panggung sandiwara. Kesulitan mendapat pemain wanita itulah mungkin yang menyebabkan perkumpulan drama amatir Batavia memilih semboyan "Ut desint vires tamen est laudanda voluntas".
Sukses dengan rombongan dramanya, Minard kemudian mendatangkan berbagai rombongan kesenian langsung dari Prancis ke Batavia pada tahun-tahun benkut. Berkat jasa Minard pula masyarakat Batavia dapat menyaksikan pertunjukan opera untuk pertama kali. Rombongan itu didatangkan ke Batavia pada tahun 1836.
Semua rombongan kesenian Perancis yang datang ke Batavia itu bukan dari kelas satu yang terkenal, tetapi kelompok artis kelas kambing yang di Perancis sendiri tidak mendapat pasaran. Meski opera atau drama yang mereka pentaskan selalu dimainkan dalam bahasa Prancis, penonton Batavia tetap bisa mengikuti jalan ceritanya. Beberapa hari sebelum pertunjukan, ringkasan cerita dalam bahasa Belanda biasanya sudah dapat dibaca dalam surat kabar.
Akibat sering dikunjungi rombongan kesenian Perancis, pengaruh kebudayaan Perancis juga terasa dalam masyarakat Batavia dalam kuartal kedua abad ke-19 itu. Masyarakat gandrung segala yang berbau Perancis, mulai dari bahasa, pakaian sampai tata cara pergaulan. Banyak artis Perancis yang kemudian tinggal beberapa bulan di Batavia. Mereka membuka rumah mode gaya Paris atau memberi kursus dansa sebagai usaha sambilan.
Ketika situasi perekonomian di Jawa makin jelek, keadaan kas Gedung Kesenian tahun berikutnya juga makin parah. Apalagi setelah meletusnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825, yang menyebabkan pemerintah melakukan penghematan besar-besaran dan nilai uang makin merosot. Sulit bagi Ut desint untuk terus mempertahankan acara pertunjukan drama rutin mereka, karena jumlah penonton juga menyusut.
Setelah bertahun-tahun merana, tahun 1835 Gedung Kesenian mulai hidup dan dipadati penonton lagi. Pada tanggal 23 September tahun itu di Batavia mendarat sebuah kapal dari Singapura yang membawa rombongan sandiwara Prancis di bawah pimpinan seorang impresario bernama Minard. Selama dua bulan mereka menghibur publik Batavia dengan tiga musikal Francis, masing-masing berjudul: Michel et Christine, Angelina ou la Champenoise dan La Demoiselle et la Dame ou avant apres le manage.
Untuk pertama kali khalayak Batavia menyaksikan pertunjukan yang benar-benar dimainkan rombongan drama profesional. Selama ini panggung Schouwburg hanya menampilkan pertunjuk¬an oleh perkumpulan-perkumpulan drama amatiran, dengan pemain yang kemampuan aktingnya pas-pasan.
Namun bukan itu yang membuat penonton berduyun-duyun datang ke Gedung Kesenian. Khalayak Batavia tertarik oleh adanya aktris atau pemain drama wanita dalam pertunjukan itu.
Sampai saat itu drama hanya dimainkan kaum laki-laki saja di Batavia, Perkumpulan-perkumpulan drama, termasuk Ut desint, tak pernah memiliki anggota wanita. Segala peran wanita terpaksa harus selalu dimainkan aktor pria. Sebuah roman percintaan seringkali malah jadi menggelikan karena tokoh-tokoh wanitanya berwajah kasar, bersuara besar dan bertubuh kekar.
Entah kenapa, wanita-wanita Belanda - atau Indo - di Batavia waktu itu sama sekali tidak tertarik untuk menjadi aktris dan bintang panggung sandiwara. Kesulitan mendapat pemain wanita itulah mungkin yang menyebabkan perkumpulan drama amatir Batavia memilih semboyan "Ut desint vires tamen est laudanda voluntas".
Sukses dengan rombongan dramanya, Minard kemudian mendatangkan berbagai rombongan kesenian langsung dari Prancis ke Batavia pada tahun-tahun benkut. Berkat jasa Minard pula masyarakat Batavia dapat menyaksikan pertunjukan opera untuk pertama kali. Rombongan itu didatangkan ke Batavia pada tahun 1836.
Semua rombongan kesenian Perancis yang datang ke Batavia itu bukan dari kelas satu yang terkenal, tetapi kelompok artis kelas kambing yang di Perancis sendiri tidak mendapat pasaran. Meski opera atau drama yang mereka pentaskan selalu dimainkan dalam bahasa Prancis, penonton Batavia tetap bisa mengikuti jalan ceritanya. Beberapa hari sebelum pertunjukan, ringkasan cerita dalam bahasa Belanda biasanya sudah dapat dibaca dalam surat kabar.
Akibat sering dikunjungi rombongan kesenian Perancis, pengaruh kebudayaan Perancis juga terasa dalam masyarakat Batavia dalam kuartal kedua abad ke-19 itu. Masyarakat gandrung segala yang berbau Perancis, mulai dari bahasa, pakaian sampai tata cara pergaulan. Banyak artis Perancis yang kemudian tinggal beberapa bulan di Batavia. Mereka membuka rumah mode gaya Paris atau memberi kursus dansa sebagai usaha sambilan.
Blog yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi article tentang Kuil Todaiji di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/05/nara-di-kuil-todai-ji.html
ReplyDeleteLihat juga video di youtube https://youtu.be/2i-MwzfWvs4