Pasar Senen 1776
Setelah Pasar Senen dibongkar serta diganti dengan Pusat Perdagangan Proyek Senen di awal tahun tujuh puluhan, pemerintah DKI merencanakan untuk meremajakan Segi Tiga Senen (STS) juga sekitar Februari 1985. STS yang mayoritas meliputi bangunan toko itu terletak antara Jalan Senen Raya, Jalan Pasar Senen dan Jalan Senen Raya III, Jalan Kenanga). Alasan pembongkaran, karena kondisinya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Jakarta waktu itu. Selanjutnya di tempat itu akan didirikan bangunan baru sebagai penataan lingkungan Senen.
Sejarah daerah Senen berkaitan erat dengan daerah yang bernama Weltevreden, karena dulunya termasuk bagian dari daerah itu. Di zaman dulu bangsa Belanda kebanyakan tinggal di kota lama atau yang dulu disebut Oud Batavia. Pusat kediaman mereka adalah kawasan yang disebut Kasteel, di dekat Pasar Ikan.
Pada akhir abad ke-17, kondisi lingkungan di dalam kota yang dikelilingi tembok waktu itu, dinilai semakin kurang sehat. Pusat kediaman itu lalu diperluas ke arah selatan, sampai batas antara Buiten Nieuwpoortstraat (Pintu Besar Utara) dan Glodok, di mana anak Kali Ciliwung mengalir sepanjang Jalan Pinangsia. Semula tak ada warga Belanda yang berani bermukim di luar batas itu, di seberang kali.
Akan tetapi kemudian para pegawai tinggi VOC yang umum-nya kaya-raya, mulai membeli tanah di "daerah selatan" itu. Di sana mereka mendirikan vila dan membuka kebun untuk tempat peristirahatan. Zaman sekarang barangkali seperti orang Jakarta pergi beristirahat ke Puncak. "Daerah selatan" ini adalah Weltevreden, Molenvliet West (Jl. Gajah Mada) dan Rijswijk (sekitar Harmoni). Weltevreden meliputi daerah yang di sebelah utaranya berbatas sampai Jalan Pos, di timur de Grote Zuiderweg (Jalan Gunung Sahari - Jalan Pasar Senen), di selatan Jalan Prapatan dan di barat dengan Kali Ciliwung.
Asal mula terbentuknya tanah Weltevreden dapat dilihat dari catatan yang berasal dari tahun 1632. Di situ disebutkan bahwa dulu ada sebidang tanah di tepi kali, yang disebut Paviljoensveld (Lapangan Pavilyun) di dekat Lapangan Banteng sekarang, milik Anthonij Paviljoen.
Tanah ini sebagian berupa hutan lebat, sebagian lagi tanah rawa, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk persawahan. Namun agaknya pemiliknya lebih suka menyewakan tanah itu kepada orang-orang Tionghoa saja, yang selalu menanaminya dengan sayuran dan tebu. Sedang untuk dirinya sendiri ia hanya menyisakan hak untuk berternak sapi.
Sejarah daerah Senen berkaitan erat dengan daerah yang bernama Weltevreden, karena dulunya termasuk bagian dari daerah itu. Di zaman dulu bangsa Belanda kebanyakan tinggal di kota lama atau yang dulu disebut Oud Batavia. Pusat kediaman mereka adalah kawasan yang disebut Kasteel, di dekat Pasar Ikan.
Pada akhir abad ke-17, kondisi lingkungan di dalam kota yang dikelilingi tembok waktu itu, dinilai semakin kurang sehat. Pusat kediaman itu lalu diperluas ke arah selatan, sampai batas antara Buiten Nieuwpoortstraat (Pintu Besar Utara) dan Glodok, di mana anak Kali Ciliwung mengalir sepanjang Jalan Pinangsia. Semula tak ada warga Belanda yang berani bermukim di luar batas itu, di seberang kali.
Akan tetapi kemudian para pegawai tinggi VOC yang umum-nya kaya-raya, mulai membeli tanah di "daerah selatan" itu. Di sana mereka mendirikan vila dan membuka kebun untuk tempat peristirahatan. Zaman sekarang barangkali seperti orang Jakarta pergi beristirahat ke Puncak. "Daerah selatan" ini adalah Weltevreden, Molenvliet West (Jl. Gajah Mada) dan Rijswijk (sekitar Harmoni). Weltevreden meliputi daerah yang di sebelah utaranya berbatas sampai Jalan Pos, di timur de Grote Zuiderweg (Jalan Gunung Sahari - Jalan Pasar Senen), di selatan Jalan Prapatan dan di barat dengan Kali Ciliwung.
Asal mula terbentuknya tanah Weltevreden dapat dilihat dari catatan yang berasal dari tahun 1632. Di situ disebutkan bahwa dulu ada sebidang tanah di tepi kali, yang disebut Paviljoensveld (Lapangan Pavilyun) di dekat Lapangan Banteng sekarang, milik Anthonij Paviljoen.
Tanah ini sebagian berupa hutan lebat, sebagian lagi tanah rawa, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk persawahan. Namun agaknya pemiliknya lebih suka menyewakan tanah itu kepada orang-orang Tionghoa saja, yang selalu menanaminya dengan sayuran dan tebu. Sedang untuk dirinya sendiri ia hanya menyisakan hak untuk berternak sapi.
No comments:
Post a Comment