Arca-arca Di Kelenteng Sentiong
Sejak tahun 1862 arca-arca yang diduga berasal dari sekitar Prambanan-Kalasan itu mulai menarik perhatian pihak Belanda. Mereka berusaha untuk memasukkan dalam koleksi Museum Bataviaasch Cenootschap (kini Museum Pusat). Usaha itu sama sekali tidak berhasil. Pihak pengurus kuatir menyinggung pengertian beragama mereka yang memuja area-area itu. .
Dalam tahun 1866 usaha itu dilanjutkan lagi. Anggota Kinder de Camaraeq melaporkan kepada Lembaga, bahwa di halaman kelenteng terdapat dua buah batu berbentuk busur, yang diduga merupakan bagian dari suatu gapura. Ia menyarankan agar batu itu dimanfaatkan sebagai hiasan bagian depan gedung Museum yang akan dibangun. Tahun berikutnya sekretaris lembaga itu melaporkan lagi, bahwa ia melihat sejumlah dua puluh arca di ruang samping dan beberapa lagi di halamannya. Dalam rapat diputuskan untuk mengajukan soal itu kepada Residen Batavia. Tetapi itu pun tak membawa hasil.
Bertahun-tahun lewat, tetapi tampaknya pihak Museum masih juga belum melepaskan harapan untuk memperoleh arca-arca itu. Bahkan pernah dicoba menyangkutkannya dengan KUHP Tionghoa. Salah satu undang-undang itu menyebutkan bahwa pegawai negeri yang memberikan sesajian di muka umum kepada dewa-dewa yang tak berhak dapat dihukum dengan didera dengan tongkat delapan puluh kali. Ternyata ayat itu tak dapat diterapkan. Di kelenteng itu hanya berlangsung penghormatan sederhana kepada dewa-dewa yang tidak sah, kecuali tiga atau empat area Buddha. Jadi tidak bisa dianggap persajian besar-besaran oleh pegawai negeri. Juga ayat tentang ilmu sihir, ajaran-ajaran yang merusak, penipuan dan sebagainya tak dapat pula diterapkan. Dengan demikian segala usaha gigih pihak direksi Museum untuk memperoleh area-area itu tetap gagal.
Sampai dengan tahun 1979 itu, kumpulan area tersebut masih tetap bersemayam dengan tenang di tempat yang sama seperti dua ratus tahun yang lampau. Beberapa diantaranya dicat warna emas atau dihiasi kain merah. Asap dupa dan lilin mengepul tanpa henti-hentinya. Banyak di antara area-area itu agak kehitam-hitaman oleh asap.
Dalam tahun 1866 usaha itu dilanjutkan lagi. Anggota Kinder de Camaraeq melaporkan kepada Lembaga, bahwa di halaman kelenteng terdapat dua buah batu berbentuk busur, yang diduga merupakan bagian dari suatu gapura. Ia menyarankan agar batu itu dimanfaatkan sebagai hiasan bagian depan gedung Museum yang akan dibangun. Tahun berikutnya sekretaris lembaga itu melaporkan lagi, bahwa ia melihat sejumlah dua puluh arca di ruang samping dan beberapa lagi di halamannya. Dalam rapat diputuskan untuk mengajukan soal itu kepada Residen Batavia. Tetapi itu pun tak membawa hasil.
Bertahun-tahun lewat, tetapi tampaknya pihak Museum masih juga belum melepaskan harapan untuk memperoleh arca-arca itu. Bahkan pernah dicoba menyangkutkannya dengan KUHP Tionghoa. Salah satu undang-undang itu menyebutkan bahwa pegawai negeri yang memberikan sesajian di muka umum kepada dewa-dewa yang tak berhak dapat dihukum dengan didera dengan tongkat delapan puluh kali. Ternyata ayat itu tak dapat diterapkan. Di kelenteng itu hanya berlangsung penghormatan sederhana kepada dewa-dewa yang tidak sah, kecuali tiga atau empat area Buddha. Jadi tidak bisa dianggap persajian besar-besaran oleh pegawai negeri. Juga ayat tentang ilmu sihir, ajaran-ajaran yang merusak, penipuan dan sebagainya tak dapat pula diterapkan. Dengan demikian segala usaha gigih pihak direksi Museum untuk memperoleh area-area itu tetap gagal.
Sampai dengan tahun 1979 itu, kumpulan area tersebut masih tetap bersemayam dengan tenang di tempat yang sama seperti dua ratus tahun yang lampau. Beberapa diantaranya dicat warna emas atau dihiasi kain merah. Asap dupa dan lilin mengepul tanpa henti-hentinya. Banyak di antara area-area itu agak kehitam-hitaman oleh asap.
No comments:
Post a Comment