Wednesday, March 11, 2015

Rumah Tuan Tanah Yang Jadi Kelenteng Tionghoa

Vihara Buddhayana

Cerita ini mengenai sebuah gedung di zaman doeloe di Jakarta yang masih ada sampai sekarang. Di sebelah utara pusat perbelanjaan terkenal Pasar Baru, ada sebuah jalan yang dulunya dikenal bernama Gang Tepekong (sekarang diganti menjadi Jalan Pintu Besi). Pada belokan yang menuju ke Jalan Kartini, tepat di seberang pos Pemadam Kebakaran terlihat sebuah bangunan putih berpagar tembok rendah. Gerbang masuknya agak sempit, berpintu besi agak tinggi, bercat merah. Jalan masuk ke gedung ini memang cukup memadai untuk mencegah kaki pengunjung berlepotan lumpur atau basah. Namun si pembuat gedung agaknya kurang menghiraukan segi-segi keindahan.

Gedung itu terlindung dari pandangan mata oleh semak-semak tinggi. Bambu gading dan sederet pohon tanjung muda memagari kiri-kanan jalan semen itu. Beberapa pohon besar di halaman membuat suasana keseluruhan jadi teduh dan hening, jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas daerah sekitarnya.

Kalau kita tidak memperhatikan pintu gerbang masuk yang bercat merah menyala, tempat pembakaran kertas sembahyang berbentuk pagoda yang bercat merah pula, serta papan yang terpancang di atas pintu, kita tidak akan mengira bahwa gedung itu sebenarnya sebuah kelenteng.

Apalagi gaya bangunannya sama sekali tidak mirip dengan lazimnya kelenteng-kelenteng Tionghoa. Tidak ada atap melengkung dengan dua ekor naga berhadapan di bubungannya. Tidak ada pula tiang bendera besar dan cat merah serta keemasan yang biasanya dljumpai di mana-mana di sebuah kelenteng.

Memang tidak mengherankan, sebab gedung itu dulunya bukan kelenteng, melainkan rumah tuan tanah atau landhuis dari abad ke-18. Kaca-kaca besar di atas jendela dan pintu, pilar-pilar bergaya Yunani, lantai dengan ubin-ubin besar warna merah maupun arsitektur keseluruhannya, menunjukkan ciri-ciri sebuah rumah tuan tanah Belanda dan kurun waktu itu. Langit-langit ruangan yang ditopang balok-balok berat dan tangga kayu berukiran khas, persis serupa dengan yang terlihat pada rumah-rumah Belanda kuno di daerah kota. Tadinya rumah ini bertingkat dua, tetapi kemudian dibongkar. Bila hal itu terjadi, tak diketahui dengan tepat, mungkin sekali pada akhir abad ke-19.

Dalam keadaannya pada tahun 1979, bagian belakang (serambi belakang) rumah menjadi bagian depan kelenteng. Kalau dulu bernama Wang Kiap Si, kemudian diganti menjadi Vihara Buddhayana, biasa disebut orang Kelenteng Sentiong. Bagian belakang kelenteng itu telah mengalami berbagai perombakan sehingga menjadi sebuah bangunan modern yang tak karuan bentuknya.

Dibandingkan dengan rumah-rumah tuan tanah pada zaman itu, rumah ini tergolong sederhana, meskipun entah berapa kali mengalami perombakan. Rumah itu tampaknya tidak dimaksudkan untuk menampung keluarga besar atau banyak tamu sesuai gaya hidup di masa itu. Sekalipun demikian, rumah itu tadinya bertingkat dua. Hal itu tentu menaikkan gengsinya, tetapi belum bisa dikatakan mewah. Mungkin pemilik pertamanya bermaksud untuk mempunyai sebuah rumah peristirahatan jauh di luar kota.

Seperti halnya orang kaya masa kini membangun vila di Puncak. Kalau diingat bahwa pada masa pembuatan rumah itu batas kota sebenarnya di sekitar Pancoran-Glodok, dapat dibayangkan bahwa rumah di dekat Pasar Baru dan harus ditempuh dengan perjalanan satu jam berkereta, sangat jauh letaknya.

Di dalam rumah ini pernah ditemukan sebuah benda berasal dari Coromandel (India) berpahatkan bulan sabit dan kepala singa dengan tulisan "FJ. Coyett, Annoo 1736". Atas dasar ini diduga bahwa rumah tersebut dibangun dalam tahun 1736 oleh Frederik Julius Coyett, anggota Raad-ordinair Hindia. Keterangan-keterangan lain tentang pembangunannya tak diketahui. FJ. Coyett, seorang pejabat tinggi Kompeni yang menempuh karier cukup panjang, meskipun bapaknya pernah menjabat gubernur Ambon.

1 comment:

  1. this dutch archaeological report refers to this klenteng and several buddhist sculptures found there https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB14:001587001:00029&query=J.+Knebel+Batavia&coll=dts&rowid=3&pres%5Bmaxperpage%5D=36&pres%5Bpage%5D=2&pres%5Bnobuffer%5D=top

    ReplyDelete