Wednesday, September 2, 2015

Budaya Orang Batavia

Di Depan Gereja Besar Batavia

Batavia adalah tempat pertemuan kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan Barat dibawa oleh Belanda dan ethik Eropa lainnya, sementara itu kebudayaan Timur dibawa oleh orang Tionghoa, orang Arab, orang India serta kelompok etnik lain di Nusantara.
 
Di abad ke 17, di dalam tembok kota tinggal orang Belanda, orang Tionghoa dan para budaknya. Mereka hidup dengan mewah sejalan dengan kotanya yang makmur. Kemewahan itu dapat dilihat dari lukisan kuno  di mana tuan dan nonya berpakaian rapi, di temani budak-budaknya di belakang sambil memegangi payung dan Alkitab, pergi ke gereja.
 
Di Batavia jaman itu, pemerintah hanya mengenal gereja Katolik. Karena itu hanya tiga gereja yang dibangun di dalam tembok kota: Gereja Belanda, Gereja Portugis dalam tembok kota, dan Gereja Portugis di luar tembok kota yang masih ada sampai sekarang. Gereja ini dinamai Gereja Sion, yang berlokasi di ujung Jalan Pangeran Jayakarta. Ada juga gereja Melayu yang terletak di rumah sakit Belanda, di Selatan kota. Tetapi, rumah sakit Belanda ini telah hilang.
 
Mengapa ada gereja portugis, sedang kita tahu bahwa Batavia di perintah oleh Belanda? Gereja portugis ini bukan dibangun oleh Portugis yang beragama Katolik. Pada waktu itu agama Katolik adalah agama terlarang di Batavia kuno. Gereja Portugis ini juga gereja Protestan dan dibangun oleh Belanda. Gereja ini untuk para budak yang dibawa dari India dan berbahasa Portugis. Setelah tiba di Batavia, mereka dipaksa berpindah ke agama Protestan dan pemerintah membangun dua gereja protestan untuk mereka.
 
Selain gereja Protestan, ada juga kelenteng orang Tionghoa yang semuanya dibangun di luar tembok kota. Kelenteng terbesar adalah Jin De Yuan di Petak Sembilan. Tetapi dalam kerusuhan 1740 semua kelenteng di bakar habis. Hanya kelenteng Jin De Yuan yang dibangun kembali dan tempat disekitarnya dikenal dengan nama Glodok.
 
Kelompok etnik lain yang tinggal di Batavia adalah orang Bali. Mereka datang ke Batavia sebagai pedagang atau ada juga yang menjadi budak. Karena mereka beragama Hinda, dengan mudah dapat hidup diantara orang Tionghoa. Hampir semua orang Tionghoa menikah dengan perempuan Bali karena pada waktu itu tidak ada perempuan Tionghoa.
 
Disamping kelompok – kelompok etnik itu, Batavia menjadi tempat berdagang tekstil yang menarik bagi para pedagang dari India. Walaupun jumlah mereka kecil, mereka ikut serta mewarnai Batavia. Sekarang pedagang tekstil dari India banyak yang tinggal di Pasar Baru. Mereka berdagang disana bersama-sama orang Tionghoa.
 
Jangan dilupakan bahwa Batavia juga rumah bagi orang Arab. Mereka tinggal di Pekojan dengan masjid tuanya di Kampung Moor. Pekojan adalah nama untuk orang Koja, para pendatang dari Gujarat. Menurut De Haan, juga digunakan untuk menyebut orang dari Coromandel dan Gujarat.
 
Sekarang, disamping orang Tionghoa yang tinggal di Glodok, berbagai budaya Batavia menjadi warisan budaya masyarakat Betawi, yang disebut penduduk asli Jakarta. Kebudayaan mereka adalah campuran dari berbagai etnik yang tinggal di Batavia dan sekitarnya. Namun sekarang mereka kebanyakan tinggal di pingir Jakarta.
 
Semua itu merepresentasikan kebudayaan Jakarta Modern.
Lebih lanjut silahkan baca klikbatavia.

Sunday, August 23, 2015

Matahari di Atas Batavia


Di Depan Gereja Batavia

Klik Batavia adalah website yang komplit tentang Batavia. Maka dari itu kurang lengkap kalau tidak ada novel yang bercerita tentang kota tua ini, menjadikannya panggung yang menegangkan dan sekaligus romantis.
Novel ini diangkat dari kehidupan nyata di Batavia, penelitian sejarah kota ini pada tahun 1737-1740 dimana mayoritas penduduk kota adalah orang Tionghoa dan yang memerintah adalah orang Belanda. Kehidupan Batavia pada saat itu sangat religius dengan dominasi kehidupan gereja protestan Kalvinis. Sebaliknya kehidupan dipecinan yang berada diluar tembok kota adalah agama kelenteng.
Novel ini mengangkat kisah seorang sinshe yang bertugas di rumah sakit Tionghoa, sayang rumah sakit itu sudah diruntuhkan tanpa bekas dan sudah dilupakan orang. Diceritakan percintaan antara seorang sinshe dengan gadis berdarah campuran Belanda - Tionghoa. Latar belakang percintaan mereka adalah peristiwa 1740 yang mana Batavia di serang orang Tionghoa dibawah pimpinan Khe Panjang dan peristiwa pembantaian orang Tionghoa.  
Ditulis oleh seorang sejarahwan dan penulis yang lagi naik daun Chen Ming Sien, akan bertutur dalam cerita bersambung. Novel ini sebuah gebrakan dari bentuk novel tradisional yang satu arah. Sebaliknya novel ini dua arah dimana pembaca dapat memberi komentar dan saling berkomentar serta berdiskusi.

Wisindo, Wisata Indonesia

Mandeh

Selamat datang di situs Wisindo. Kami senantiasa memberikan informasi wisata di Indonesia sampai dengan kota sekecil apa pun. Bagi kami semua tempat di Indonesia adalah Indah dan dapat dijual sebagai tujuan pariwisata. Apakah seluruh wilayah Indonesia adalah surganya pariwisata? Tergantung bagaimana kita melihatnya. Website ini mengajak anda untuk mengekplorasi seluruh wilayah Indonesia. Kami memandang Nusantara sebagai halaman luas yang dimana saja dapat ditanami “pohon pariwisata” yang nantinya akan berbuah memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Maka dari itu kami terbuka jika ada pemerintah daerah yang ingin mempromosikan pariwisata di daerahnya di website ini.

Selain itu situs kami juga melakukan pendidikan pariwisata bagi siapa saja yang ingin tahu apa itu pariwisata. Maka dari itu banyak tulisan pariwisata yang mudah dimengerti oleh semua orang. Kami selalu berusaha menyederhanakan segala hal yang rumit dan sulit untuk dimengerti. Teori-teori pariwisata yang hanya dimengerti oleh dunia kampus diubah menjadi sederhana dan enak dibaca.

Jangan lupa, situs ini mengungkap secara lebih luas tentang perencanaan pariwisata. Bagi kami masalah pariwisata bukan hanya bagaimana mempromosikannya sehingga laku dijual, tetapi juga bagaimana mempersiapkannya. Suatu perencanaan pariwisata merupakan multidisiplin. Untuk itu kami bekerjasama dengan perguruan tinggi terkemuka untuk menjelaskan hal ini.

Kami juga menyajikan tulisan-tulisan ringan, enak dibaca dan memberi pendidikan pariwisata. Cita-cita kami adalah semua orang Indonesia sadar wisata. Dengan demikian akan mudah menatanya dan mempromosikan pariwisata. Kekuatan pariwisata sebenarnya terletak pada kesadaran masyarakatnya untuk menjadi masyarakat yang “menjual” pariwisata.

Selamat Datang di Wisindo!

Saturday, April 11, 2015

Selamat Datang



Alun-alun Batavia

Selamat datang di Memori Jakarta! Tempat berbincang dan berdiskusi memori tentang Jakarta, ibukota nusantara. Sebagai admin, saya mengharapkan anda merasa kembali kemasa lampau. Memang memori tentang Jakarta telah banyak diceritakan orang tetapi belum ada situs yang menfokuskan diri pada perbicangan dan diskusi tentang kisah-kisahnya. Tentunya yang akan kita angkat tentang kota lama Jakarta yang dulu bernama Batavia
 
Walaupun Jakarta hanya bagian yang sangat kecil dari Indonesia, karena  merupakan ibukota Negara dia adalah cermin pembangunan kota lama di seluruh Indonesia. Sejarah kota yang panjang mulai jaman VOC yang konon dibangun sebagai tiruan Kota Amsterdam, sampai jamannya Pak Ahok sebagai gubernur, kota tua Jakarta selalu menunjukkan dinamika yang tidak pernah layu.
 
Memori Jakarta akan sangat diperlukan semua orang baik yang cinta kota lama atau yang tidak memiliki perhatian sama sekali. Bagi pecinta kota lama tentu situs ini adalah rumah untuk mengekpresikan diri, membedah memori kolektif yang selama ini terpendam. Bagi mereka yang belum memiliki perhatian tentang kota lama, harus dibuat tertarik. Mengapa? Kota Lama Jakarta – Batavia adalah identitas Jakarta di jaman internet. Jangan hanya melihat di koran atau televisi tentang indahnya kota lama Amsterdam, tetapi kita harus bisa membangkitkan kecintaan terhadap kota lama Jakarta - Batavia
 
Bagi orang muda, kota tua adalah wahana untuk belajar baik dari sudut seni, arsitektur, kesehatan kota, bahkan ekonomi kota. Bagi para peneliti baik dibidang-bidang yang disebutkan tadi ataupun bidang-bidang yang lain, adalah obyek penelitian yang sangat menarik. Untuk orang awam, kota tua merupakan pusat kenangan masa lampau. Kota lama adalah ruang yang menyegarkan dari kejenuhan kota modern yang penuh dengan gedung tinggi tetapi sekaligus macet dan kumuh, seperti halnya kota-kota di Negara yang sedang berkembang.
 
Segalanya tentang Batavia! Tuangkan apa saja yang menjadi pemikiran anda tentang kota tua Jakarta lewat kolom komentar pada setiap artikel.

Ayo berpetualang di Batavia kota tua Jakarta yang penuh misteri!

Sunday, April 5, 2015

Cikal Bakal Gereja Katedral

Gereja Katedral

Di Taman Kwitang, depan Gunung Agung, Prapatan, dulu mengalir sebuah kali yang cukup lebar dengan air lumayan bersih. Kali ini disebut Kali Baterai, menjurus dari Kali Ciliwung di barat, terus ke Kali Baru di timur sampai Galur dan bergabung dengan Selokan Bungur. Setiap sore Kali Baterai di depan Proyek Senen ramai dengan orang yang mandi dan mencuci.

Di Jalan Kenanga, persis di depan Firma Lauw Tjin (gedung ini sampai tahun 1985 masih ada) dulu ada sebuah gereja kecil. Luasnya hanya 23 x 8 meter. Ada kemungkinan gereja ini didirikan oleh Chastelein. Gubernur Jenderal Van den Bosch menikah di gereja ini pada tahun 1804. Sampai tahun 1829 gereja ini dipakai sebagai gereja Katolik Roma kotapraja. Kemudian Gereja ini di ganti dengan gereja baru, dan diberkati menjadi Gereja Katedral yang terletak  di sudut Waterlooplein. Berita tentang perobohan gereja lama dimuat dalam Javasche Courant tanggal 4 Februari 1830.

Tak dapat disangkal bahwa orang-orang Tionghoa dulu berperan serta dalam mengembangkan Weltevreden, khususnya daerah Senen. Mereka berusaha sebagai saudagar, petani, pengusaha kebun, tukang kayu, tukang besi bahkan pembuat arak. Mereka-lah yang mula-mula merambah hutan dan rawa untuk dijadikan perkebunan yang subur.

Salah seorang Tionghoa yang berhasil "mengabadikan" namanya dalam sejarah Pasar Senen (meskipun kurang jelas apa jasanya) adalah Letnan Tan Wang Seng. Di Segi Tiga Senen itu ada gang yang dikenal bernama Gang Wangseng (kini Jalan Senen Raya).

Burung Perkutut Pembawa Bahagia

Villa Weltevreden

Daerah belakang pasar, di sebelah barat Pasar Senen, dulu juga pemukiman orang-orang Tionghoa. Seperti pasarnya, rumah mereka pada mulanya juga masih berupa gedek. Yang menarik waktu itu adalah bahwa di depan hampir setiap rumah dipasang galah tinggi untuk menggantungkan kurungan burung perkutut. Konon burung itu "membawa kebahagiaan" bagi pemeliharanya.

Jalan Kenanga dulu adalah sebuah gang yang merupakan jalan pribadi masuk ke villa Weltevreden dari Jalan Gunung Sahari. Pintu gerbangnya persis di seberang mulut gang (Jalan Senen Raya). Kurang jelas kapan Jalan Senen Raya menghubungkan mulut Jalan Kenanga dengan Simpang Prapatan-Kramat mulai ada. Yang pasti daerah itu lalu berbentuk segi tiga, dan belakangan disebut Segi Tiga Senen.

Sampai Di Luar Batas Weltevreden

Jatinegara

Sejak tahun 1770 kawasan Pasar Senen itu meliputi pasar yang terletak di kiri-kanan Groten Zinderweg (Jalan Pasar Senen). Jadi sebagian ada yang di luar batas tanah Weltevreden. Suasana pada masa itu masih seperti pedesaan.masih banyak pepohonan. Jalan Pasar Senen dulu juga satu-satunya jalan yang menghubungkan Batavia dengan Meester Cornelis (Jatinegara).

Di sebelah timur pasar terdapat perumahan orang Tionghoa. Di belakang perumahan ini mengalir de Slokkan (Kali Baru). Selokan ini dulu dibuat oleh Gubernur Jenderal G.G. van Imhoff (1743-1750), yang mengalir dari Salemba dan Kramat, lalu membelok ke Bungur, untuk memudahkan pengangkutan kayu dari "pedalaman" ke kota Batavia.

Dari arah Gunung Sahari sebelum sampai simpang Jalan Kenanga, di sebelah kiri jalan ada Gedung Pertunjukan Wayang Orang Panca Murti. Gedung ini dulu bekas gudang beras. Tahun 1911 berubah fungsinya menjadi bioskop West Java, yang memutar film-film bisu. Kemudian tahun 1920 namanya berganti menjadi Rialto dan masih tetap memutar film bisu. Terakhir fungsinya berganti menjadi gedung pertunjukan wayang orang sampai sekarang. Hanya namanya sekarang Bharata.

Dulu di Senen juga ada jalan yang disebut Jalan Jagal. Tapi bukan berarti di situ ada tempat penjagalan, melainkan hanya tempat penampungan hewan-hewan yang akan dipotong. Tempat potongnya sendiri terletak di timur Gang Warung Panjang (Jl. Senen Raya IV), di tepi terusan Kali Lio. Tempat penjagalan itu berupa sebuah panggung. Bagian bawah panggung dibuat semacam kandang. Sapi atau kerbau yang akan dipotong dimasukkan ke kandang, lalu ditombak dari atas panggung. Kepalanya dipukul keras-keras sampai mati.