Kongsi Besar Batavia
Selesai lelang Oey dihampiri “Mayor” Tan Eng Goan, salah seorang pemimpin masyarakat Tionghoa terkemuka di Betawi masa itu. Pemuka itu mengajaknya pulang bersama naik kereta. Persahabatan antara keduanya meningkatkan gengsi Oey di mata masyarakat Tionghoa. Pada suatu ketika Tan mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar Oey diangkat menjadi letnan dan anggota Dewan Tionghoa (Kong Koari).
Oey mempunyai empat orang anak. Yang pertama seorang putri, telah dinikahkan dengan putra bupati Pekalongan, yang kelak akan menggantikan ayahnya. Yang kedua seorang putra bernama Holland (Holan), ketiga Tambah dan keempat Makau atau Mako.
Menurut penuturan orang, Oey pindah ke Betawi karena menikahkan anak sulungnya dengan putra bupati, yang merupakan sahabat karibnya sejak dulu. Masyarakat Tionghoa agaknya tidak bisa menerima perkawinan campuran itu. Mereka melakukan berbagai tekanan serta fitnah kepada Oey sehingga ia terpaksa meninggalkan kota itu.
Setelah beberapa tahun menjabat kedudukan sebagai luitenant der Chinezen yang menguasai onderdistrict Kongsi Besar, Oey tiba-tiba meninggal. Selama menjabat ia melakukan tugasnya dengan baik, sehingga diberi nama kehormatan Oey Thay Lo, yang berarti Oey yang besar dan tua.
Waktu meninggal usia Oey baru lima puluh tahun. Anaknya Tambah, yang biasa dipanggil Oey Tambahsia (sia adalah semacam gelar kehormatan bagi anak laki-laki orang berpangkat)-baru berumur lima belas. Biarpun masih remaja, Tambah sudah terkenal sebagai pemuda rupawan dan gemar berdandan. Pagi dan petang ia gemar naik kuda keliling kota. Kepalanya bertopi karpus sutera. Pakaiannya model Tionghoa tampak sangat rapi. Dia juga terkenal sebagai pemuda yang sangat royal. Sifat lainnya jalah bahwa ia tak suka bergaul dengan anggota masyarakat ramai. Sekalipun ia anak seorang pemuka Tionghoa, agaknya ia menghindari para pemuka lainnya. Ke mana-mana ia diikuti beberapa orang kaki-tangannya.
Seratus hari sepeninggal bapaknya, Tambah sering terlihat berpesiar dengan kereta yang dihela kuda-kuda poni. Pada kusir, dia berpesan untuk memperlambat jalannya jika melewati kediaman seorang pejabat Tionghoa. Menurut kelaziman masa itu, setiap orang Tionghoa yang melewati kediaman pemuka masyarakatnya harus membuka tutup kepala sebagai tanda penghormatan. Tambahsia sengaja memperlambat kendaraannya agar para pemimpin Tionghoa itu melihat bahwa dia akan melakukan penghormatan itu.
Pada suatu hari salah seorang anggota Dewan Tionghoa, The Kim Houw, mengunjungi Oey Tambah untuk menasihati agar tidak bersikap sombong dan takabur, serta mengandalkan harta peninggalan ayahnya untuk meremehkan para pemuka. Mereka itu semua sahabat ayahnya. Oey sama sekali tidak menggubris nasihat The yang sebaya ayahnya, bahkan mempermalukannya dengan kurang hormat. Dia bersikap begitu karena tahu bahwa banyak di antara para pemuka Tionghoa itu menerima sumbangan keuangan dari mendiang ayahnya. Lagipula dia bersama adiknya menerima warisan sangat besar. Antaranya beberapa bidang tanah luas di Pasar Baru, daerah Curug, Tangerang yang sewanya f 95.000 setahun; daerah Pintu Kecil Jakarta yang sewanya 40.000 gulden setahun.Di samping itu juga tanah, barang dagangan, uang dan perhiasan sejumlah dua juta gulden lebih.
Oey mempunyai empat orang anak. Yang pertama seorang putri, telah dinikahkan dengan putra bupati Pekalongan, yang kelak akan menggantikan ayahnya. Yang kedua seorang putra bernama Holland (Holan), ketiga Tambah dan keempat Makau atau Mako.
Menurut penuturan orang, Oey pindah ke Betawi karena menikahkan anak sulungnya dengan putra bupati, yang merupakan sahabat karibnya sejak dulu. Masyarakat Tionghoa agaknya tidak bisa menerima perkawinan campuran itu. Mereka melakukan berbagai tekanan serta fitnah kepada Oey sehingga ia terpaksa meninggalkan kota itu.
Setelah beberapa tahun menjabat kedudukan sebagai luitenant der Chinezen yang menguasai onderdistrict Kongsi Besar, Oey tiba-tiba meninggal. Selama menjabat ia melakukan tugasnya dengan baik, sehingga diberi nama kehormatan Oey Thay Lo, yang berarti Oey yang besar dan tua.
Waktu meninggal usia Oey baru lima puluh tahun. Anaknya Tambah, yang biasa dipanggil Oey Tambahsia (sia adalah semacam gelar kehormatan bagi anak laki-laki orang berpangkat)-baru berumur lima belas. Biarpun masih remaja, Tambah sudah terkenal sebagai pemuda rupawan dan gemar berdandan. Pagi dan petang ia gemar naik kuda keliling kota. Kepalanya bertopi karpus sutera. Pakaiannya model Tionghoa tampak sangat rapi. Dia juga terkenal sebagai pemuda yang sangat royal. Sifat lainnya jalah bahwa ia tak suka bergaul dengan anggota masyarakat ramai. Sekalipun ia anak seorang pemuka Tionghoa, agaknya ia menghindari para pemuka lainnya. Ke mana-mana ia diikuti beberapa orang kaki-tangannya.
Seratus hari sepeninggal bapaknya, Tambah sering terlihat berpesiar dengan kereta yang dihela kuda-kuda poni. Pada kusir, dia berpesan untuk memperlambat jalannya jika melewati kediaman seorang pejabat Tionghoa. Menurut kelaziman masa itu, setiap orang Tionghoa yang melewati kediaman pemuka masyarakatnya harus membuka tutup kepala sebagai tanda penghormatan. Tambahsia sengaja memperlambat kendaraannya agar para pemimpin Tionghoa itu melihat bahwa dia akan melakukan penghormatan itu.
Pada suatu hari salah seorang anggota Dewan Tionghoa, The Kim Houw, mengunjungi Oey Tambah untuk menasihati agar tidak bersikap sombong dan takabur, serta mengandalkan harta peninggalan ayahnya untuk meremehkan para pemuka. Mereka itu semua sahabat ayahnya. Oey sama sekali tidak menggubris nasihat The yang sebaya ayahnya, bahkan mempermalukannya dengan kurang hormat. Dia bersikap begitu karena tahu bahwa banyak di antara para pemuka Tionghoa itu menerima sumbangan keuangan dari mendiang ayahnya. Lagipula dia bersama adiknya menerima warisan sangat besar. Antaranya beberapa bidang tanah luas di Pasar Baru, daerah Curug, Tangerang yang sewanya f 95.000 setahun; daerah Pintu Kecil Jakarta yang sewanya 40.000 gulden setahun.Di samping itu juga tanah, barang dagangan, uang dan perhiasan sejumlah dua juta gulden lebih.
No comments:
Post a Comment