Wednesday, March 11, 2015

Frederik Julius Coyett

Lambang Frederik Julius Coyett


Dalam tahun 1729 Coyett diangkat menjadi Penguasa Kompeni untuk pantai utara Jawa. Dalam tahun 1733 ia ditugaskan ke Kartasura untuk merundingkan dengan Susuhunan, soal pem-bayaran hutang-hutang dan perluasan hubungan dagang Kompeni dengan Kerajaan Mataram.

Di antara stafnya yang ikut serta adalah sekretaris Hendrik Greven dan pejabat perpajakan Semarang, Cornellis Anthonie Lons. Yang terakhir ini minta izin kepada Coyett dan Susuhunan untuk mengadakan perjalanan peninjauan di wilayah kerajaan Mataram. Lons mengisahkan segalanya dalam sebuah laporan perjalanan, termasuk kunjungannya ke kompleks Candi Prambanan. Meskipun dia tidak menyebutkan secara jelas, bukan mustahil dialah yang mengambil area-area Hindu dan Buddha dari daerah percandian yang kemudian akan kita jumpai kembali dalam rumah Coyett. Mungkin ia melakukan hal itu sebagai balas jasa kepada atasannya yang telah memberi izin dan berusaha memintakan izin kepada Susuhunan. Kalau bukan Lons, mungkin juga Gubernur Jenderal van Imhoff, yang pernah mengadakan perjalanan serupa dalam tahun 1746, atau Jacob Mossel (salah seorang pemilik rumah berikutnya) yang juga mengadakan perlawatan sama delapan tahun kemudian.

Beberapa patung ada yang dipasang dekat pada bagian rumah yang menjadi kelenteng Sentiong. Kita bisa menyimpulkan bahwa setidak-tidaknya sebagian dari patung-patung itu sudah ada ketika rumah itu dibangun tahun 1736.

Coyett sendiri tak lama menikmati rumahnya. Ia meninggal dunia dalam tahun itu juga. Sebelumnya ia minta dinikahkan secara resmi dengan Geertruida Margaretha Goossen. Istri yang sah ini mewarisi rumah yang kemudian disebut Huize Goenoeng Sarie. Ia kemudian menikah lagi dengan Johannes Thedens, seorang pejabat tinggi Kompeni yang kemudian pernah menjadi pejabat sementara gubernur jenderal. Tanah berikut rumah dibaliknamakan kepada suami baru itu, tetapi kembali lagi kepada pemilik semula ketika Thedens meninggal dalam tahun 1748.

Beberapa tahun kemudian rumah itu dijual lagi kepada Henricus Jacobus van Suchtelen. Pembeli ini pun tak bisa lama membanggakan diri sebagai pemilik rumah dan tanah Goenoeng Sarie. Ia meninggal dalam tahun 1753. Jandanya yang masih muda menikah lagi dengan Roelof Blok, Gubernur dan Direktur Kompeni untuk Makasar. Nyonya muda itu meninggal di situ ketika melahirkan anaknya, sehingga Blok kemudian menjadi pewaris rumah Goenoeng Sarie.

Tahun 1761 Blok kembali ke tanah airnya setelah menjual rumahnya kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Dalam akte jual-beli disebutkan, "...sebuah rumah tinggal besar dari batu, dengan beberapa bangunan lain, dengan beberapa kuburan Tionghoa di luarnya, terletak dalam jarak satu jam perjalanan antara benteng-benteng Jacatra dan Noordwijk* sisi timur, dan barat sungai besar yang lama di antara jalan raya Selatan dan jalan raya yang baru dirintis..." Benteng Jacatra terletak di ujung Jalan Pangeran Jayakarta, sekitar tempat pembantuan hewa. Benteng Noordwijk terletak di sekitar jalan silang kereta api di Jalan Pintu Air

Mossel juga tidak lama menikmati rumah ini. Ia meninggal pada tanggal 15 Mei 1761. Agaknya para ahli warisnya tidak tertarik pada rumah ini, sehingga mereka kemudian menjual kepada Simon Josephe. Rupanya pembeli terakhir menutup transaksi itu dengan maksud-maksud mencari keuntungan. Ia tahu bahwa di sekitar tanah itu ada beberapa kuburan tua Tionghoa. Ia tahu pula bahwa orang-orang Tionghoa sedang mencari tempat baru untuk areal pemakaman mereka yang telah penuh. Di samping itu adanya area-area Hindu dalam rumah Coyett rupanya juga merupakan daya tarik, yang membuat mereka makin berminat atas persil ini.

No comments:

Post a Comment