Pintu Kecil Batavia
Bagi orang yang lahir di Jakarta jaman dulu, nama itu sudah sangat dikenal. Bukan karena uangnya saja, tetapi ulahnya yang membuat orang tua gadis-gadis cantik khawatir setengah mati. Namun akhirnya Oey Tambahsia kena batunya juga.
Pada tahun 1837, Jalan Toko Tiga di Jakarta Kota merupakan pusat perdagangan yang ramai. Toko tembakau terbesar di jalan itu milik seorang pedagang besar Tionghoa asal Pekalongan, bernama Oey Thoa. Meskipun belum lama menetap di Betawi, Oey sudah cukup terkenal. Bukan saja karena kebesaran usahanya, tetapi juga kedermawanannya. Konon Oey mempunyai kebiasaan memberi sedekah kepada orang miskin setiap tanggal satu dan lima belas penanggalan Tionghoa, saat dia bersembahyang di Kelenteng Kim Tek le.
Beberapa tahun kemudian Balai Harta Peninggalan menyelenggarakan lelang. Pelelangan hari itu lebih istimewa, karena bukan saja meliputi barang-barang, perabot rumah tangga dan lainnya, tetapi juga tanah. Tanah Pintu Kecil yang akan ditawarkan itu di sebelah barat berbatasan dengan Kali Pekojan, sebelah timur dengan Kali Besar, sebelah selatan dengan Kali Tongkangan dan sebelah utara dengan Kali Kampung Melaka.
Setelah barang-barang bergerak selesai dilelang, kepala juru lelang menawarkan tanah itu kepada penawar tertinggi. Dia menambahkan bahwa pemilik tanah dijamin hak-haknya, sebagai-mana ditetapkan dalam Reglemen Tanah Swasta dalam Staatsblad 1811.
"Dua puluh ribu guldenl" tawar seorang dari Pasar Baru.
"Sekali, dua kali . . ."
"Dua puluh ribu!" seru Oey Thoa yang sejak tadi hanya menonton saja.
"Tiga puluh ribu!" tukas seorang calon pembeli dan Senen.
"Lima puluh ribu," kata Oey tenang.
Penawaran yang tiba-tiba melonjak itu mengejutkan hadirin. Setelah diumumkan tiga kali tak ada yang mengajukan tawaran lagi, maka sebidang tanah itu jatuh ke tangan Oey. Ia membayar tunai dengan lembaran uang yang tersimpan dalam ikat pinggangnya.
Pada tahun 1837, Jalan Toko Tiga di Jakarta Kota merupakan pusat perdagangan yang ramai. Toko tembakau terbesar di jalan itu milik seorang pedagang besar Tionghoa asal Pekalongan, bernama Oey Thoa. Meskipun belum lama menetap di Betawi, Oey sudah cukup terkenal. Bukan saja karena kebesaran usahanya, tetapi juga kedermawanannya. Konon Oey mempunyai kebiasaan memberi sedekah kepada orang miskin setiap tanggal satu dan lima belas penanggalan Tionghoa, saat dia bersembahyang di Kelenteng Kim Tek le.
Beberapa tahun kemudian Balai Harta Peninggalan menyelenggarakan lelang. Pelelangan hari itu lebih istimewa, karena bukan saja meliputi barang-barang, perabot rumah tangga dan lainnya, tetapi juga tanah. Tanah Pintu Kecil yang akan ditawarkan itu di sebelah barat berbatasan dengan Kali Pekojan, sebelah timur dengan Kali Besar, sebelah selatan dengan Kali Tongkangan dan sebelah utara dengan Kali Kampung Melaka.
Setelah barang-barang bergerak selesai dilelang, kepala juru lelang menawarkan tanah itu kepada penawar tertinggi. Dia menambahkan bahwa pemilik tanah dijamin hak-haknya, sebagai-mana ditetapkan dalam Reglemen Tanah Swasta dalam Staatsblad 1811.
"Dua puluh ribu guldenl" tawar seorang dari Pasar Baru.
"Sekali, dua kali . . ."
"Dua puluh ribu!" seru Oey Thoa yang sejak tadi hanya menonton saja.
"Tiga puluh ribu!" tukas seorang calon pembeli dan Senen.
"Lima puluh ribu," kata Oey tenang.
Penawaran yang tiba-tiba melonjak itu mengejutkan hadirin. Setelah diumumkan tiga kali tak ada yang mengajukan tawaran lagi, maka sebidang tanah itu jatuh ke tangan Oey. Ia membayar tunai dengan lembaran uang yang tersimpan dalam ikat pinggangnya.
No comments:
Post a Comment